-->Cerita Rakyat Sumbawa
Kecamatan : Moyo Hilir
Nara Sumber : AW. Syihabudin Z 54,
Wiraswasta. Desa Poto
Diceritakan kembali oleh : AW.
Syihabudin Z, 54, Wiraswasta. Desa Poto
Di
jaman yang telah lampau tersebutlah di dalam kisah seorang putera
raja yang konon berasal dari Gowa Sulawesi Selatan. Ia datang ke
tempat ini bukan untuk memerintah tetapi untuk menyebarkan Agama
Islam. Tempat ini dinamakan Bekat Loka suatu tempat yang dijadikan
tempat tinggal dan lama kelamaan menjadi sebuah dusun. Bekat asal
katanya adalah berkat. Dusun yang diberkati Allah tempat bermukim
seorang alim dari Putera Raja Gowa. Di Dusun Bekat Loka inilah
akhirnya Putera Raja Gowa wafat. Kini lokasi itu dapat dilihat lebih
kurang seratus depa sebelah tenggara sebuah bukit kecil yang dikenal
dengan Ponan. Bukit Ponan sendiri terletak diantara tiga buah dusun
yaitu Dusun Poto, Dusun Malili, dan Dusun Lengas. Di Dusun Bekat Loka
inilah lahir seorang putera yang dikenal oleh penduduk setempat
dengan nama Haji Batu yang makamnya sekarang dapat dilihat dipuncak
bukit Ponan. Bekat Loka merupakan asal muasal munculnya ketiga dusun
yang disebutkan diatas yaitu Dusun Poto, Dusun Malili, dan Dusun
Lengas.
Dusun
Bekat Loka lama kelamaan banyak ditinggalkan oleh penduduknya. Para
penduduk lebih memilih bertempat tinggal dekat dengan tanah
garapannya yang dibukanya sendiri pada saat itu. Akhirnya
terbentuklah sebuah dusun yang lain yang diberi nama Samongal yang
letaknya juga diatas sebuah bukit berdekatan dengan sebuah sungai
kira – kira berjarak seratus meter dari Dusun Poto, yaitu disebelah
utara Dusun Bekat Lengas. Nama Samongal berasal dari kata Samonga
artinya dalam bahasa Samawa yang diandalkan. Di Dusun Samongal inilah
sebagian besar keturunan putera Raja Gowa bermukim, dan lama kelamaan
melahirkan dua bersaudara yang kelak akan menjadi penyambung lidah
Sultan Samawa Pertama.
Kedua orang bersaudara itu dalam
perkembangannya diangkat menjadi pemegang adat dan pemerintahan.
Sebelum melaksanakan pemerintahan keduanya lebih dahulu disumpah
secara Islam oleh Datu Qadi. Kedua orang bersaudara itu setelah
disumpah diberi gelar masing – masing Dea Dasin Salidin dan Dea
Gamal. Dea Dasin Salidin memegang adat dan pemerintahan dari Samongal
Moyo Hilir (Paroso) sampai ke Buir (Juru Mapin) Alas. Sedang Dea
Gamal bertugas menjaga dan meneliti adat secara Islami.
Adat dalam penyelenggaraan
pemerintahan saat itu adalah adat yang bersifat asli (Primitive) yang
dilaksanakan secara Islami artinya bersendikan syara dan Kitabullah.
Sampai sekarang adat - adat ini sebagian masih dipertahankan sesuai
dengan jamannya.
Dalam melaksanakan tugasnya Dea
Dasin Salidin diberikan imbalan tanah sawah berlokasi di Orong Rea.
Tanah Sawah ini disebut Uma Panyaka. Yang diberikan kepercayaan untuk
penyelenggaraan sawah itu adalah orang – orang dari Dusun Sengkal
dan Dusun Batu Bulan. Mereka ini bukan budak tetapi disebut Tau
Sanak. ( artinya orang yang dipandang sebagai keluarga ).
Dea Dasin Salidin adalah sosok
pemimpin yang memiliki rasa kasih sayang yang tinggi terhadap
rakyatnya. sehingga rakyat pada waktu itu juga memiliki rasa berbakti
yang tinggi pula. Dalam perjalanan hidup akhirnya Dea Dasin Salidin
(pertama) wafat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Tidak lama setelah
Dea Dasin 1 wafat dan dimakamkan, diangkatlah Dea Dasin 2 yang
merupakan putera dari Dea Dasin 1. Dea Dasin 2 dikenal juga dengan
nama Dea Dasin Ali. Dea Dasin 2 ini merupakan tokoh yang tangkas,
tegap, jujur dan adil pula. Sebagai bukti bahwa Dea Dasin 2 adalah
sosok pemimpin yang jujur dan adil yaitu ketika anaknya itu
dimasukkan bui. Kedatangan Belanda ke Sumbawa pada waktu itu tidak
banyak mempengaruhi perilaku rakyat karena adat dilaksanakan sangat
kuat sesuai dengan syariat Islam. Atas sikap adil yang luar biasa
yang ditunjukkan oleh Dea Dasin 2 maka pihak Belanda pada waktu itu
memberikan dan menyematkan Bintang Jasa dari emas.
Sesuai
dengan adat maka disamping Dea Dasin ada Dea Gamal yang bertugas
menjaga dan meneliti adat secara Islami. Penjagaan adat itu mulai
dari dalam Istana sampai ke lapangan , yaitu misalnya adat di masjid,
adat di rumah - rumah pejabat, adat di rumah, adat berhadapan dengan
guru agama, alim ulama, dan lain-lain. Di Istana, dua jabatan adat
yang dijabat oleh dua bersaudara ini urutan duduknya sebagai berikut.
Sultan berjejer dengan Menteri Lante. Dea Dasin dan Dea Gamal
berjejer dengan Adipati Raja. Mereka duduk berhadapan dengan Raja
(Sultan) dalam bermusyawarah adat atau lainnya. Jika salah seorang
belum hadir maka musyawarah adat belum dimulai.
Dea Gamal ( 1, 2 dan 3 ) pada
jamannya masing – masing mempunyai tugas yang sama. Imbalannya
adalah sawah di Kecamatan Utan sekarang yang disebut dengan Uma
Gamal. Sampai sekarang ini sawah tersebut tetap dikenal dengan nama
Uma Gamal.
Asal usul Dea Dasin dan Dea Gamal
ini adalah keturunan Sulawesi. Demikian pula dengan Sultan Sumbawa.
Buir identik dengan Bekat. Jika orang menyebut Buir maka sudah
termasuk di dalamnya Kalabeso, Tarusa, dan Jurumapin. Dan jika orang
menyebut Bekat maka termasuk didalamnya adalah Poto, Malili, dan
Lengas, yang masih dapat dilihat sekarang adalah pakaian adat istana
yang dulunya dipakai oleh kedua pejabat ini.
4 komentar
Write komentarwah bagus juga cerita nya ya
Replyya ,keren cerita nya brother
Replyyap . terima kasih kunjungannya
Replyyap . terima kasih kunjungannya
ReplyBerkomentarlah! EmoticonEmoticon